Sering Dibanding-bandingkan, Kakak Sri Mulyani Tetap Happy

Menjadi kakak dari Menko Perekonomian sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani tentu tidak nyaman. Orang akan selalu membanding-bandingkan dengan salah satu dari 100 wanita berpengaruh di dunia itu.

Setidaknya hal itu memang dirasakan oleh kakak Sri Mulyani, Nining Soesilo. Direktur UKM Center FEUI yang juga salah satu kandidat Dekan FEUI ini memang mengakui bahwa memang awalnya tidak nyaman berada di bawah bayang-bayang Sri Mulyani.

"Lucu juga sebenarnya, biar bagaimanapun dia kan adik saya. Awal-awalnya terus terang enggak nyaman juga, sering orang bilang wajah saya memang ada miripnya dengan adik saya. Saya bilang, sebetulnya dia kan yang mirip saya karena saya lahir duluan kan. Lama-lama saya pikir ya sudahlah, saya terima apa adanya," ujar Nining dalam wawancaranya dengan detikFinance di kawasan Panglima Polim, Jakarta, Senin (16/3/2009) malam.

Sri Mulyani dan Nining merupakan putri dari pasangan Prof. Satmoko (alm.) dan Prof. Dr. Retno Sriningsih Satmoko (alm.) yang seluruhnya berjumlah 10 orang. Sri Mulyani merupakan putri ke-7, sementara Nining adalah putri ke-3.

Nining mengisahkan, dalam keluarga besarnya, selalu dididik untuk mencari ilmu yang disukainya. Tak heran, dari 10 bersaudara, masing-masing memiliki disiplin ilmu yang berbeda. Namun dengan kekebasan untuk memilih ilmu yang disukai itulah membuat Nining bersaudara tidak pernah terpaksa untuk belajar.

"Di keluarga saya, kita dididik untuk mencari satu ilmu yang disukai, dengan begitu kan kalau belajar tidak seperti dikejar-kejar. Karena dengan begitu kita bisa senang, jadi kita tidak berpikir yang tidak-tidak," ujarnya.

Meski jarang bertemu dengan Sri Mulyani, namun Nining mengaku sangat dekat dengan adiknya itu. Pertemuan dengan Sri Mulyani masih sering dilakukan namun tak pernah membahas masalah pekerjaan.

"Kadang kalau saya sudah di rumah dia juga sudah enggak ada waktu untuk bicara pekerjaan, kita memang coba hindari itu. Kalau ketemu kita kayak keluarga aja, yang karaoke-an atau apa karena dia juga butuh untuk menghilangkan beban. Jadi kita tempatkan diri sebagai kakak dan adik saja, enggak ngomongin kerjaan," ujar lulusan ITB ini.

"Dengan orang tua kita yang sudah enggak ada, supporting one and another itu mulai kerasa. Adik saya itu kan geraknya agak terbatas karena segala hal yang berhubungan dengan profesinya, nah di keterbatasan itu kami coba untuk bisa memberinya ruang untuk ekspresif ke kami. Jadi mungkin fungsinya lebih ke situ," tambahnya lagi.

Mengeni orang yang masih terus membanding-bandingkan dirinya dengan Sri Mulyani, Nining memilih untuk tidak menanggapi. Segala hal dibuatnya sebagai sesuatu yang menggembirakan.

"Kami enggak punya cukup waktu untuk menanggapi itu dan membuatnya jadi beban karena kami berdua sibuk. Jadi silahkan saja. Kita juga enggak sempet mikirin kesitu. Jadi happy aja lah. Kalau di ekonomi kan ada pilihannya mau jadi aset atau lialibity, jadi harta atau utang. Kalau kita berpikir negatif itu akan menjadi utang karena menjadi beban. Kalau kita berpikir positif kan nantinya jadi harta. Kalau kita bersyukur kan Allah bakal memberi nikmat, jadi ya kita bersyukur saja," pungkasnya.


Selasa, 17/03/2009 11:34 WIB
Detik Finance

Meneladani Prof Satmoko

Pendidikan Humanis dari sang Nasionalis

PROF Drs Satmoko, salah seorang guru besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (FIP Unnes) memang telah wafat pada 23 Desember 2006. Dia adalah dosen biasa, dengan pemikiran sederhana, bahwa pendidikan merupakan proses yang membawakan nilai-nilai pencerahan.

Tetapi bagi saya, juga orang-orang yang pernah menjadi muridnya, Satmoko memiliki konsisten luar biasa sebagai bapak, guru, dan teman pengajar.

Kepergiannya sebagai salah satu dari tiga guru besar emiritus yang masih bersedia mengembangkan mata kuliah Ilmu Pendidikan di FIP Unnes sungguh merupakan kehilangan besar bagi komunitas Ilmu Pendidikan. Sebagai pelopor perkembangan Ilmu Pendidikan, ia mengutamakan pendidikan nilai, memiliki pandangan filosofi tegas tentang humanisme dan nasionalisme.

Pandangannya ini segaris dengan dua koleganya dari Universitas Negeri Yogyakarta, Prof Dr Noeng Muhajir dan Prof Dr Sodik Azis Kuntoro Med. Baginya, mendidik guru adalah membangun karakter bangsa Indonesia yang kokoh. Satmoko mengakui selama ini Indonesia belum pernah menemukan landasan filosofi yang relevan dengan jiwa bangsa Indonesia.

Dua dua bulan sebelum wafat, Satmoko berkesempatan menerima saya untuk diwawancarai dalam rangka membuat kerangka pemikiran filosofis tentang mazhab pendidikan di Indonesia. Berikut rangkuman pemikirannya, yang mudah-mudahan berguna bagi kita yang masih hidup di dunia.

Belum Terumuskan

Menurut Satmoko, bangsa Indonesia belum pernah merumuskan filsafat pendidikannya sendiri, karena banyak distorsi. Begitu Indonesia merdeka dan bebas dalam berpikir, kita justru belum mampu memanfaatkan kebebasan itu. Kita terbentur pada kebhinekaan. Secara historis, sebelum Belanda datang, sebenarnya Indonesia sudah memiliki ''sistem'' pendidikan sendiri, yaitu pada zaman Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram yang bersifat feodalistis.

Budaya feodal berwatak sentralis, sehingga menjadi panutan yang kuat. Para pemikir seperti Ronggowarsito yang futuristik sudah meramalkan bahwa zaman yang akan datang bakal terjadi pluralisme yang cenderung tidak beraturan. Nilai-nilai dasar budaya Indonesia yang plural belum sempat menjadi sistem yang dianut oleh semua pihak.

Sampai sekarang belum pernah ada suatu teori pendidikan yang didukung riset. Riset yang ada selalu mengacu Amerika. Di Indonesia, sifat pendidikan direduksi menjadi schooling (sekolah formal) -kesimpulan yang dinilai terlalu tergesa-gesa. Harusnya, secara embrional, pendidikan itu harus dilihat dalam kekuatan keluarga. Bagaimana orang tua dan masyarakat mendidik anak-anaknya (filsafat ing ngarsa asung tuladha).

Guru sekolah itu kedudukannya ada dalam proses persekolahan. Guru adalah fasilitator (ing madya mangun karsa), yang aktif mendorong anak dalam arah yang benar. Tetapi guru yang berkualifikasi tidak sempat mengenal siswanya, karena tanggung jawabnya cukup besar sementara gajinya kecil.

Satmoko melihat kejadian sebagai akar fenomenologi yang berkembang di Indonesia. Embrio pemikiran tentang sistem pendidikan nasional berasal dari Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai dasar budaya Indonesia. Taman Siswa bukan penonjolan budaya Jawa, tetapi perlawanan budaya lokal kepada pemerintah kolonialisme Belanda yang mendapat pembenaran dari berbagai suku lain.

Pada dasarnya mendidik adalah tanggung jawab yang mesti ditangani orang tua, bukan guru. Orang tua tak siap untuk mendidik, karena ia melahirkan anak tanpa ilmu pendidikan, tapi secara instinktif. Orientasi filosofi orang tua sederhana saja, yaitu berupaya menanamkan nilai-nilai kemandirian untuk anak, dan sekaligus memberi bekal untuk meneruskan hidupnya.

Kemudian orang tua menyadari bahwa dalam hidup, manusia tidak hanya mengejar kejerahan materi, tapi hendaknya juga menyiapkan diri di masa akhir dunia. Dengan demikian, yang dibekalkan pada anak hendaknya persiapan untuk hidup did unia dan akhirat. Beberapa orang lalu dapat saling membandingkan pengalaman masing-masing.

Praktik dengan Percontohan

Prof Satmoko menilai pengaruh Amerika besar sekali terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Depdiknas hanya mengambil filsafat tut wuri handayani. Para pendidik kita yang belajar di AS tidak mampu membendung masuknya liberalisasi dan individualisasi. Anak, dalam teori behavioralistik, diasumsikan merupakan potensi, naturalistik harus didukung dengan filsafat tut wuri handayani.

Padahal Ki Hajar Dewantara mengajarkan ketiga kesatuan (Tripusat) tak terpisahkan. Karena seorang anak juga butuh diberi contoh (tuladha), sedangkan guru sebagai fasilitator harus mampu memberi arah pendidikan nilai yang jelas. Sehingga guru Indonesia menjadi korban. Di satu pihak belum memiliki filosofi Indonesia, tetapi di tataran praksis mengalirlah praktik pendidikan dengan program pengajaran yang sangat liberal.

Pendekatan kompetensi diterapkan dalam pendidikan dan teknologi, serta disikapi sebagai panglima yang mengarahkan mutu pendidikan. Kita bisa menyaksikan ukuran-ukuran mutu hasil pendidikan yang dikaitkan dengan peningkatan knowledge. Ujian Negara (UN) menjadi patokan, padahal kita tidak menerima anak sebagai unsur teknologi, tetapi sebagai pribadi manusia.

Indonesia sebetulnya memiliki filsafat Pancasila sebagai landasan filosofi pendidikan. Pada masa lalu, Pancasila kehilangan spiritnya karena inkonsistensi sikap dari bangsa kita. Filsafat Pendidikan Pancasila mengajarkan banyak hal, mulai dari unsur religi, demokrasi, human relation, sampai keadilan. Tetapi masuknya liberalisme dan kapitalisme membuat kita menjadi sangat behavioristik. Anak didik dipaksa untuk kreatif, inovasi dan bebas, tetapi guru tidak bertanggung jawab pada pembentukan nilai-nilai anak. Liberalisme dan kapitalisme hanya melahirkan kemampuan memilih peluang, tetapi tidak menghasilkan sikap dan moral.

Bagi Satmoko, hidup merupakan patron. Selama hidupnya, dia memberi tuladha kepada istri dan 10 anaknya untuk hidup sederhana dan mengembangkan nilai-nilai hidup normatif berdasarkan ajaran agama. Kondisi ini tidaklah mudah, apalagi pada masa Orde Baru di mana tuntutan kemajuan materi sangat tinggi.

Dengan kesederhanaan, ia mengantar putera-puterinya menapaki kehidupan dengan pasrah dan tawakal. Baginya, mendidik anak dimulai dari keluarga (millieu), lingkungan kerja (ia pernah menjadi dekan FIP selama dua periode). Dan dalam keseharian, selalu diupayakan kaidah hidup dadi guru, ora guroni ananging naberi (menjadi guru jangan sekali-kali merasa lebih pinter, tetapi memberi contoh).

Meski puterinya menjadi menteri keuangan (Dr Sri Mulyani Indrawati-Red), yang memimpin masuknya lembaga donor internasional untuk meningkatkan mutu SDM, Satmoko tetap memiliki idealisme dalam membangun pendidikan di Indonesia. Baginya modal asing telah mencabut akar (uprot) kemampuan mandiri bangsa ini, mulai dari kemampuan petani, pedagang, pemodal, dan birokrat.

Sistem pendidikan harus dikembangkan dengan memberi kepercayaan kepada anak didik sepenuhnya. Untuk itu, guru harus memiliki idealisme dan panggilan hati (beruf) untuk mencintai anak didiknya. Sikap ini tidak dapat diperoleh dari bangku sekolah, tetapi perlu dilatih dalam kehidupan keseharian. Ya, lengkaplah sudah pemilikan Prof Satmoko sebagai guru, guru besar, dan pinandita yang dimiliki Unnes.

Kini Prof Satmoko telah tiada. Seorang yang biasa dan sederhana, tetapi memiliki magnitute kehidupan yang kuat, memiliki semangat idealisme yang besar bagi 10 anak, 25 cucu, dan ribuan murid yang ditinggalkannya.

Kami rela melepaskanmu, karena kami yakin bahwa Satmoko-Satmoko muda bakal lahir kembali, melalui anak, cucu, dan para muridnya.

Pernah Dicegat Fretilin, Tiga Kali Kena Malaria

Asri Purwanti, Kakak Menkeu yang Pernah Sengsara di Timor Leste
Tak semua dokter pernah bertugas di wilayah konflik. Seperti dr Asri Purwanti SpA (k) Mpd, yang 4 tahun bertugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Kakak kandung Menkeu Sri Mulyani ini merasakan tugas di sana rawan konflik yang mengancam jiwanya.

PENGALAMANNYA bertugas sebagai dokter di wilayah Timor Timur sudah terjadi 19 tahun silam. Namun, Asri Purwanti tak akan pernah melupakannya. Saat itu Timor Timur diwarnai konflik menegangkan.

Asri bertutur, dia mengabdikan ilmunya di wilayah yang kini sudah menjadi negara Timor Leste itu pada 1985-1989. Ia memboyong sang suami, Edy Susianto SE, serta anak sulungnya, Aditya Retno Fitri, yang kala itu berusia satu tahun. "Saya berangkat ke sana (Dili) bersama suami dan anak. Kebetulan, suami juga bertugas di Kota Dili," ujarnya kepada RADAR SEMARANG (Jawa Pos Group).

Di wilayah yang masih berkonflik itu Asri bertugas di Puskesmas Centro, Kota Dili. Setelah dua tahun di ibu kota Timor Timur, Asri diangkat menjadi kepala Dinas Kesehatan di Kabupaten Liquisa, 45 kilometer dari Kota Dili.

Praktik di wilayah terpencil, konsekuensinya Asri tinggal di rumah dinas yang jauh dari layak. Ia juga tak memiliki perabot rumah tangga yang memadai. "Rumah dinas yang saya tempati kosong melompong. Tapi, untungnya dari Kota Dili saya membawa kompor dan kasur busa," kenangnya.

Air bersih sulit didapat, juga minim sarana transportasi. Untuk kebutuhan air sehari-hari, dia menggunakan air sungai yang sebenarnya tak layak untuk dikonsumsi. "Jika hujan turun, air sungai menjadi hitam. Mau tidak mau, saya menampung air hujan dari genteng. Setelah diendapkan, baru dipakai untuk memasak dan mandi," ujarnya.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makanan, Asri kerap mengandalkan makanan kaleng yang dibawa dari kota asal. Sementara, lauknya tahu dan tempe serta sayur dia dapatkan seminggu sekali. Sebab, di Liquisa, pasar yang menjual bahan pokok hanya buka seminggu sekali.

"Jika makanan kaleng habis, saya mencari bahan yang bisa dimakan di dalam hutan. Tapi, untungnya ada tunjangan perang. Jadi ada lauk pauk dari tentara," tutur anak kedua dari sepuluh bersaudara, pasangan almarhum Prof Drs Satmoko dan almarhumah Prof dr Retno Sriningsih ini.

Bertugas di wilayah yang serba sulit bukan berarti gaji yang diterima Asri lebih besar, justru relatif kecil. Tak sepadan dengan tantangan yang dihadapi. Bahkan, selama enam bulan pertama bekerja, gajinya tidak keluar.

Padahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia butuh biaya besar. "Di sana (Timor Timur) apa-apa mahal. Karena hampir semua barang kebutuhan berasal dari luar Timor Timur. Standar ekonomi di sana sangat tinggi," kisahnya.

Baru pada bulan ketujuh gaji Asri sebagai kepala Dinas Kesehatan cair. Itupun jumlahnya hanya Rp 75 ribu per bulan. Meski begitu, Asri tetap menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Semangatnya untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Liquisa yang kala itu masih di bawah standar, juga tetap tinggi. Bahkan, dari 60 warga yang bekerja di kantornya, beberapa orang di antaranya buta huruf dan minim pengetahuan. "Jadi saya tidak hanya bekerja sebagai dokter. Tapi, ngajari mengetik, membuat masakan, meracik obat, bahkan sampai ngajari nyopir mobil juga," ceritanya sembari tersenyum.

Asri mengaku sejak awal memiliki idealisme tinggi sebagai seorang dokter. Begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Undip, dia bertekad mengabdi ke suatu tempat yang dipandang orang sulit, seperti medan perang. Tak heran, begitu dirinya mendapat tugas ke Timor Timur, tanpa pikir panjang langsung disanggupi. "Ya, sekalian ingin mengetes kemampuan saya," ucap ibu dari dr Aditya Retno Fitri, Andika Retno Ayuri, dan Arinta Retno Anggi ini.

Menurut dokter yang kini membuka praktik di Jl Cempedak Raya I No 11A Semarang ini, kesuksesan seorang dokter itu bukan hanya dinilai dari harta benda. Tapi, juga dari seberapa besar pengabdiannya di wilayah kritis. "Saat menghadapi situasi semacam itu, kita akan diuji seberapa besar kemampuan kita dalam berjuang memecahkan masalah" terangnya.

Selama bertugas di Timor Timur, dokter yang kini berpraktik di RSUP Kariadi dan RS Telogorejo, Semarang, mengaku pernah dihadang kelompok gerilya Fretilin. Beruntung, dia tak sampai diperlakukan yang membahayakan jiwa. "Kebetulan nama saya masuk daftar orang yang dilindungi. Saya dokter satu-satunya di Liquisa dan satu-satu dokter wanita," ujarnya.

Kakak kandung Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani ini mengaku pernah punya pengalaman menangani wabah penyakit malaria yang menyerang ribuan warga. Dia sampai harus masuk rumah sakit tiga kali, lantaran ikut terjangkit penyakit ini.

"Di sana, penderita malaria sudah stadium berat. Bahkan hampir 25 persen bayi yang baru lahir, begitu diperiksa, darahnya sudah mengandung kuman malaria," jelas dokter kelahiran Jogjakarta, 6 November 1955 ini.

Celakanya, persediaan obat-obatan sangat terbatas. Yang tersedia hanya obat puyer. "Pernah seribu puyer habis dalam sehari. Karena yang terjangkit juga ribuan. Sampai-sampai saya keliling daerah untuk membagikan puyer, " kenangnya.

Asri juga pernah punya pengalaman terperangkap selama seminggu, saat melakukan bina kesehatan di Pulau Afauru. Penyebabnya ombak laut yang besar, sehingga kapal penyeberangan tak berani beroperasi. "Saya baru bisa pulang setelah dijemput heli milik PMI," katanya.

Diakui, kondisi masyarakat Liquisa ketika itu masih terbelit kemiskinan serta minim pendidikan dan keterampilan. Karenanya setiap dana instruksi presiden (inpres) mengucur, tidak digunakan untuk membangun gedung pembelajaran.

Dana yang ada justru digunakan untuk membiayai lintas program. Semisal, panduan KB, pemberantasan buta huruf, peningkatan kesehatan masyarakat, serta pelatihan keterampilan. "Percuma buat bangun gedung, kalau akhirnya dijadikan kandang sapi," ucapnya.

"Saya juga ajarkan mereka keakraban terhadap masyarakat pendatang. Saya support mereka bahwa kita semua sama. Tidak ada perbedaan, baik orang Jawa maupun orang Timor Timur," tambahnya.


Jawa Pos
Minggu, 23 November 2008 ]


Para Saudara Kandung Sri Mulyani tentang Sri Mulyani

Para Saudara Kandung Sri Mulyani tentang Sri Mulyani

Yakinkan Masa Kecil yang Digembleng Kejujuran Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani merupakan anak ketujuh di antara 10 bersaudara dari pasangan Prof Satmoko (alm) dan Prof Dr Retno Sriningsih Satmoko
(almh). Ketika skandal Bank Century menyita perhatian publik, para saudara kandung Sri Mulyani
di Semarang ikut terkena dampaknya.

ROEJITO, Semarang SALAH seorang saudara kandung Sri Mulyani yang masih tinggal di Semarang adalah dr Asri Purwanti SpA(K) Mpd. Wanita dokter spesialis anak yang tinggal di Jl Cempedak Raya I tersebut merupakan kakak Sri Mulyani (anak kedua).

Ketika ditemui di rumahnya yang sekaligus menjadi tempat praktik kemarin siang, dia menyambut dengan ramah. Padahal, saat itu dia harus segera bergegas ke Bandung. "Sejak kecil, kami sepuluh bersaudara dididik untuk jujur sama orang tua. Mas. Kamijuga dididik untuk memperjuangkan serta mempertahankan kebenaran dan keadilan. Kalau perlu, semua itu diperjuangkan, meski nyawa jadi taruhan," ujar Astri mengisahkan pesan-pesan mulia orang tuanya.

Soal kejujuran, misalnya. Dia mencontohkan orang tuanya, terutama sang ibu, yang tetap memberi apresiasi, meski dirinya pulang sekolah dengan memperoleh nilai utangan 6, sedangkan ada kawannya yang memperoleh nilai 9. "Saya tetap bangga karena nilai 6 itu kau peroleh dengan jujur, tidak nyontek," ungkap Astri menirukan ucapan ibunya suatu ketika.

Atas dasar itulah, dirinya sulit memercayai isu yang beredar sekarang ini. Apalagi soal keterkaitan adiknya dengan kasus Bank Century atau tuduhan-tuduhan miring yang lain. Secara pribadi. Astri sangat yakin adiknya sudah memiliki karakter kuat dan terdidik menjadi orang yang teguh pendirian

"Kami tetap yakin, sejauh ini apa yang Ani (Sri Mulyani. Red) lakukan sudah benar, profesional dan proporsional. Saya secara pribadi juga merasa tahu betul siapa dan bagaimana karakter Ani sejak kecil," tegasnya mantap kepada Radar Semarang (INDOPOS Group).

Bukan hanya soal kejujuran. Nilai positif lain yang menjadi lilik tekan Prof Satmoko (alm) adalah jalankan amanah dan niatkan ibadah. Jalankan amanah, kata Astri, merupakan salah satu manifestasi nasionalisme.

Sementara itu, niat ibadah merupakan hal .tak terpisah dari orang beragama. Menjadi keluarga religius-nasionalis, begitu Astri menyebutnya. Saudara kandung Ani -panggilan Sri Mulyani- yang lain adalah dr Sutopo. Dia adalah adik Ani (anak ke-9 di antara 10 bersaudara) yang berprofesi sebagai konsultan dan peneliti kesehatan serta dosen. Dia tinggal di Jl Kelud Raya, rumah warisan orang tuanya.

Sutopo mengungkapkan, soal masalah yang sekarang menimpa kakaknya terkait skandal Bank Century, pihak keluarga tetap solid mendukung. Apa pun kasusnya, keluarga menanggapi biasa-biasa saja. Semua disadari sebagai sebuah risiko dan tidak perlu dihadapi histeris, apalagi tanpa kontrol.

Dia menyalakan tetap mencermati kasus Century secara rasional, logis, tidak semata mengedepankan emosional. "Semua itu ada risikonya, Mas. Jadi, bagi kami sekeluarga, yang tengah dijalani Mbak Ani adalah hal biasa dan kami juga biasa saja," ujar pria berkumis itu tenang.

Soal dukungan keluarga yang all-out. Sutopo menuturkan semua itu didasarkan pada pertimbangan realislis-logis. Tidak emosional semata. "Bukan semata-mata karena Mbak Ani keluarga, saudara, atau kakak, lapi lebih dari itu. Kami tetap rasional." tegasnya.

Mengenang ’’Supermom’’ Prof Retno Sriningsih

MASYARAKAT Indonesia, khususnya Kota Semarang, baru saja kehilangan sosok yang sangat fenomenal, meski sebagian di antaranya belum berkesempatan mengenalnya lebih dekat. Tepat seminggu kemarin, jasad Prof Dr Hj Retno Sriningsih Satmoko dikebumikan di TPU Bergota Semarang, setelah Jumat (10/10) malam menghembuskan nafas terakhir di usia 77 tahun.
Ibu Satmoko, begitu ia biasa disapa rekan kerja, mahasiswa, dan handai taulan, adalah guru besar emeritus berpangkat IV E di Program Studi Manajemen Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Semarang (Unnes). Dia lahir di Kebumen pada 11 Maret 1931, dari pasangan RM Martosoedirmo - Ny R Ng Mariam.

Sebelumnya, pada Desember 2006, suami tercinta Prof Drs H Satmoko wafat di usia 79 tahun. Dari pasangan bergelar guru besar emeritus ini, lahirlah 10 putra-putri yang sangat brilian, dengan profesinya masing-masing yang telah berkontribusi banyak bagi masyarakat. Salah seorang diantaranya Dr Hj Sri Mulyani Indrawati MSc, yang kini menjabat Menteri Keuangan dan Penjabat Menko Perekonomian RI. Mbak Anik, panggilan akrabnya, merupakan anak ketujuh.

Banyak hal yang sangat istimewa dan menarik untuk bisa dipelajari dari Prof Retno, baik sebagai seorang ibu, istri, nenek, rekan kerja, juga pendidik. Dari tangan beliau, telah lahir bibit-bibit yang sangat unggul. Prestasinya di ranah publik tidak kalah mengagumkan.

Di usianya yang senja, beliau masih aktif di beberapa organisasi di kampus maupun di luar kampus. Di kampus, ia dikenal sebagai sosok yang pandai, hangat, dan akrab sebagai dosen dan rekan kerja. Terakhir, beliau menjabat ketua Program Studi Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unnes (1999-2003). Tahun 2002, Unnes menganugerahinya gelar emeritus. Tahun 2003 sampai wafat mengajar sebagai dosen S3 (program doktoral), meski telah memasuki masa purna tugas.

Kesuksesan di ranah domestik dan ranah publik merupakan bukti bahwa Prof Retno merupakan supermom masa kini. Hal inilah yang membuat penulis menjadikan beliau sebagai subjek penelitian dalam proses penyusunan tugas akhir sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi Undip Semarang. Tulisan ini adalah dedikasi dan penghormatan tertinggi penulis terhadap beliau yang sangat fenomenal dan patut dijadikan teladan bagi generasi muda, yang akan mengemban amanah sebagai orangtua.

Penelitian ini berawal dari ketertarikan penulis akan sosok ibu ideal dambaan keluarga. Penulis memiliki gambaran bahwa seorang ibu ideal adalah ibu yang mampu menjalani kodratnya sebagai ibu, alias mampu melakukan tugas pengasuhan anak hingga menghasilkan anak-anak yang sukses. Kemudian muncul pertanyaan dalam benak peneliti, bagaimana dengan ibu yang mengambil pilihan bekerja, tentu tantangannya akan lebih berat.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa ibu yang sukses menjalani dua peran sekaligus (ibu rumah tangga dan wanita karier) adalah sosok ibu ideal. Peneliti lalu memberikan label ibu yang sukses berperan ganda dengan sebutan supermom. Supermom adalah seorang ibu yang meraih kesuksesan tidak hanya dalam mengurus keluarga di rumah, tapi juga sukses berkarier di luar rumah (Qorinuka, 2005). Pertanyaannya, adakah sosok ibu yang memenuhi kriteria itu?
Fondasi Keluarga Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama tujuh bulan, dengan metode observasi dan wawancara mendalam (depth interview), diperoleh hasil bahwa beliau meyakini fondasi pernikahan terletak dari pelakunya yaitu suami dan istri. Poin utamanya, bagaimana memilih suami yang tepat dan sesuai dengan dirinya, atau dalam Islam dikenal dengan konsep sekufu. Sekufu adalah kesamaan suami-istri dalam pola dasar, pengetahuan yang dimiliki, profesi, hingga cara berfikir.

Saat penulis bertanya tentang kriteria pemilihan pasangan hidup, beliau menjawab, ‘’Saya dan Pak Satmoko mempunyai kesamaan pola dasar pengetahuan. Kebetulan profesi pun sama, sehingga kami berdua ini sekufu, tidak ada nilai yang berbeda. Ini perlu diperhatikan. Kalau sudah sekufu, pengelolaan kependidikan dalam keluarga akan berlangsung tanpa benturan. Konflik banyak, lumrah sekali ada riak-riak dalam keluarga. Tetapi seingat saya, konflik itu kecil-kecil dan tak berarti’’.

Prof Retno mengatakan, awal mula pengasuhan anak tidak lagi saat anak berada dalam kandungan ibu, tapi ada fase awal yang mendahului, yaitu saat memilih pasangan hidup. Dalam budaya Jawa, konsep pemilihan pasangan hidup itu dikenal dengan istilah bibit, bobot, bebet.

Bibit artinya asal-usul keluarga: dari mana pasangan dilahirkan, siapa yang menurunkan, apakah dari keluarga bertanggung jawab. Bobot berarti kompetensi diri: kemampuan yang dimiliki, kemampuan menjadi patner dalam mencapai tujuan pernikahan. Bebet artinya rezeki yang dimiliki: pekerjaan yang dijalani, cara yang ditempuh untuk meraih rezeki. Ada lagi pertimbangan tambahan, yaitu weton (hari kelahiran).

Seorang ibu tidak akan menjadi supermom, tanpa adanya seorang suami yang super pula, yang memiliki pemahaman dan visi yang cenderung sama dalam menjalani praktik pengasuhan anak. Prinsip kesetaraan dan keselarasan antara suami-istri dalam berumah tangga pun diperlukan dalam usaha meraih tujuan keluarga.

Dalam budaya Jawa, prinsip ini telah turun-temurun diwariskan dan dipegang teguh dalam keluarga Satmoko yang dikenal dengan istilah garwa (sigaraning nyawa). Sebagai garwa, istri harus sadar akan perannya sebagai istri, bahwa terkadang harus mengalah kepada suami. Begitu pula suami, terkadang harus mengalah kepada istri.

Persamaan tujuan pernikahan seharusnya dilakukan di awal pernikahan, sehingga tidak ada salah paham antarpasangan di kemudian hari, sehingga bisa mengarahkan anak-anaknya menjadi anak saleh. Setelah tugas pengasuhan anak dirasa lancar, Prof Retno akan menjalani peran selanjutnya, yaitu sebagai ibu yang bekerja. Menurut beliau, wanita yang sukses mendidik anak sekaligus berkarier adalah wanita yang mampu melakukan manajemen keduanya secara proporsional.

Selamat jalan Prof Retno. Ibu bukan hanya subjek (penelitian) bagi saya, lebih dari itu menjadi guru, model, dan motivator bagi saya dan kaum perempuan di Indonesia.

Suara Merdeka 18 Oktober 2008

Prof. Dr.Hj.Retno Sriningsih Satmoko: MENJADI MANUSIA SEUTUHNYA TANPA BERHENTI MENJADI WANITA SEPENUHNYA

Prof. Sri satmoko, ibunda dari menteri perekonomian Sri Mulyani ini gigih dalam membesarkan putra-putrinya sekaligus usahanya untuk terus menggali ilmu.
Didalam kehidupan penghidupan sebagai wanita banyak stereotip dan rambu-rambu yang membatasi gerak wanita, salah satunya anggapan wanita sebagai ‘konco wingking’ yang menggambarkan wanita hanya layak berada di belakang, namun saya lebih suka istilah ‘garwo’ yang artinya separuh nyawa, istilah ini menunjukkan bahwa pria dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi.
bisa dikatakan kisah hidup saya bermula sejak saya menginjakkan kaki di Sekolah Guru A (SGA) dimana merupakan yang pertama di Indonesia, setiap lulusannya wajib untuk mengajar di Sekolah Lanjutan Pertama. sewaktu menjadi murid dahulu, saya sering mengukir prestasi di bidang olahraga, saat itu olahraga lompat tinggi dan lempar cakram merupakan cabang yang saya kuasai. tahun 1951 saya lulus dan mengajar olahraga di sebuah sekolah, karena mengajar bidang olahraga maka saya mengenakan celana agar lebih praktis, namun saat itu ternyata masyarakat belum terbiasa melihat wanita memakai celana sehingga seluruh lapanagan dipagari oleh pihak sekolah agar tidak terlihat masyarakat dari luar.
Tahun 1953 saat saya masih berusia 22 tahun, saya menikah dengan Prof. Satmoko. sebelum mengambil keputusan menikah orang tua saya sempat menawarkan pilihan untuk terus melanjutkan pendidikan ke fakultas pendidikan jasmani tapi tidak boleh menikah dahulu, memang dasar jiwa muda saya sedang bergejolak saat itu saya tetap memilih untuk menikah. walaupun sudah menikah namun saya tidak berhenti untuk terus belajar dan menuntut ilmu, tidak lama setelah menikah kami (saya dan suami) mendapat tugas belajar SI di suatu ilmu pendidikan Yogyakarta untuk bisa naik tingkat dapat mengajar di SLTA.
pada saat belajar SI di Yogyakarta tersebut, saya mengalami keguguran, namun saya tidak menyadarinya. pasca keguguran ibu saya menakut-nakuti bahwa saya tidak bisa mendapat anak lagi, saya sangat sedih dan takut. tidak disangka satu bulan kemudian saya kembali hamil, saya berhati-hati menjaga kandungan saya karena pada waktu itu saya masih menuntut ilmu, tak lama saya berhasil melahirkan anak pertama, setelah itu saya hamil lagi, begitu terus, bisa saya katakan saya sambil belajar beranak, sambil beranak belajar sampai saya lulus , yah hidup memang unik.
karena ada ketentuan PNS harus mengabdi ke luar pulau Jawa saat itu, dengan memboyong 3 orang anak kami sekeluarga merantau ke Tanjung Karang. Berada di Tanjung Karang hingga saya memiliki anak ke tujuh yaitu Sri Mulyani, ada hal yang mengesankan saat itu, untuk menambah keuangan keluarga saya berinisiatif untuk membuka koperasi di Tanjung Karang, padahal saya sama sekali tidak punya latar belakang di bidang ekonomi, cuma modal nekat namun ternyata bermanfaat bagi masyarakat sekitar, pada saat mengelola koperasi itulah saya tengah mengandung Sri Mulyani. Terlalu lama hidup di Tanjung Karang akan membuat kami tidak berkembang menjadi lebih baik, hal itu yang ada di pikiran saya saat itu, lalu tahun 1963 saya, suami beserta ke7 anak kami kembali ke Pulau Jawa, tanpa membawa apapun, semua barang saya tinggalkan di Tanjung Karang, hanya membawa tekad untuk menuju hidup yang lebih baik dengan bekal seadanya.
Tidak tahu mau tinggal dimana, tidak ada tempat yang dituju, belum ada tempat untuk berteduh. Saya hanya bisa pasrah saya berpikir jika Allah menghendaki anak-anak saya tinggal di gubuk maka kami akan tinggal di gubuk, jika Allah menghendaki anak-anak tinggal di gedung maka kami akan dapat gedung. Kami kembali ke Yogya, dan tidak disangka, ada salah seorang kerabat yang meminjamkan rumah dinasnya yang tidak terpakai kepada kami tanpa kami meminta. Begitulah, saya di Yogya kembali melanjutkan menuntut ilmu di fakultas Ilmu Pedagogi bersama suami, mungkin disini jiwa pejuang saya ditempa, sambil belajar pada saat itu saya kembali mengandung. Peran saya dituntut secara maksimal sebagai wanita, sebagai pelajar, sebagi ibu yang mengandung, dan sekaligus ibu rumah tangga yang wajib mengurus suami dan tujuh anak lainnya.
Pada masa-masa ini saya menyadari kompleksnya peran seorang wanita dalam kehidupan, dan memang hanya seorang wanita saja yang sanggup. Dalam rumah tangga saya harus menjadi manger yang handal, sebagai petugas belajar saat itu kami dilarang mencari honorarium, jadi yang kami miliki saat itu hanya gaji pokok, saya harus mengatur keuangan dan pengeluaran sedemikian rupa agar ketujuh anak saya tetap bisa makan dan sekolah, saya ingat betul waktu itu kami sampai harus makan separuh jagung, separuh nasi agar bisa bertahan, untuk mendapat pakaian anak-anak saya menjual lurik. Saya pribadi saat itu berperan ganda sebagai ibu, sebagai pengajar, sebagai pelajar, dan sebagai istri. Kewajiban mengajar saat itu sehari 18 jam, agar kebutuhan pokok kami terpenuhi, saya pribadi mengatur waktu sedemikian rupa, sehingga di tengah malam saya masih sempat untuk belajar. Sulit memang, tapi saya dan suami membiasakan diri untuk tidak mengeluh dan terus bertekad. Sedari dulu kami hidup secra prihatin, kami tidak mengajarkan anak-anak untuk berhura-hura
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka karir say asemakin naik, jika dihitung saya sebenarnya sama kedudukan dengan suami, namun saat itu sebagai wanita kemapuan saya sering tiak diakui, pernah suatu ketika saya mengajukan proposal penelitian dan lolos seleksi di Jakarta, karena proposal saya berhasil saya berencana mengkoordinasi para dosen untuk terlibat dalam penelitian ini, namun salah seorang pejabat di kampus justru menegur saya dengan berkata “ Who are you? , kamu Cuma seorang wanita”, kata-katanya sangat menyakitkan dan membuat saya merasa terinjak-injak sebagai seorang wanita, pengalaman serupa sering terjadi sebenarnya. Beberapa saya meilih untuk mengalah, namun ada satu tekad di benak saya, semua orang bisa mengintervensi saya, tapi tidak untuk anak-anak saya. Pendidikan mereka akan terus saya perjuangkan demi kemajuan mereka. Begitulah sehingga saya memiliki sepuluh orang anak saat ini, dan kesepuluh-puluhnya saat ini bisa saya katakana telah mencapai kesuksesan.
Kunci dari segala keberhasilan tersebut adalah, kegigihan dalam berjuang dan memperoleh pendidikan, kami tidak pernah mengeluh dalam kesulitan tapi terus bahu mebahu. Dalam mendidik anak-anak, saya selalu memberikan kata-kata positif kepada mereka untuk membangun kepercayaan diri mereka saat di sekolah dan belajar, karena anak tiak mampu belajar dengan baik jika orangtuanya memandang remeh mereka.


DAFTAR SEPULUH ANAK PROF. SATMOKO:
1. Prof. DR.Dr.H.Agus Purwadianto, SH, Msi, Spf(K)
2. Dr.Hj.Asri Purwanti, SpA,MPd
3. DR.Ir.Hj.Nining Sri Astuti ,MA
4. Ir.H.Nanang Untung Tjahyono M
5. Ir.H.Teguh Trianung Djoko Susanto,MM
6. Ir.Hj.Umiyatun Hayati Triastuti,M.sc
7. DR.Hj. Sri Mulyani Indrawati
8. Dr.Hj.Sri Harsi Teteki,M.kes
9. Dr.Sutopo Patria Jati,MM
10. Hj. Retno Wahyuningsih,SE

Keberanian Meneliti Perilaku Seks Teman Sekolah

DUNIA komunikasi/informasi sudah tak berbatas lagi oleh waktu dan ruang. Keadaan tersebut mau tak mau atau suka dan tak suka membuat masalah seksual menjadi terbuka. Pembicaraan yang menyangkut persoalan itu, tidak lagi tabu seperti dahulu, dan tak terkecuali bagi para remaja.

Pengawasan orang tua di rumah dan guru di sekolah belum menjamin, karena remaja bisa dengan bebas mengakses lewat jaringan global internet sepanjang mereka mau. Alhasil, kembali kepada diri remaja itu sendiri, bagaimana mereka bisa menjaga kepribadian dan tetap menjadi anak baik-baik.

Berangkat dari kenyataan itu, Program Studi (Progdi) Psikologi Universitas Muria Kudus (UMK) menyelenggarakan lomba karya tulis dengan tema "Pendidikan Reproduksi Remaja: Perlu atau Tidak?". Sabtu ini di kampus, masih dalam rangkaian lomba, juga digelar Seminar "Apa itu Kesehatan Reproduksi Remaja?"

Seminar akan menampilkan narasumber dr Asri Purwanti SpA MPd (Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dokter Kariadi, Fakultas Kedokteran Undip), Drs Ali Murtadho MPd (pengajar Fakultas Dakwah IAIN Walisongo), Mochamad Widjanarko SPsi (pengajar Progdi Psikologi UMK), dan Muhammad Abdul Idris (siswa SMU Islam Al Ma'ruf Kudus).

Idris adalah juara II dengan karya berjudul "Pendidikan Reproduksi Remaja: Perlu atau Tidak? -Tinjauan Deskriptif di SMU Islam Al Ma'ruf Kudus". Juara II, Dewi Puryati Ningrum, siswi SMU 1 Purworejo dengan judul "Arti Penting Pendidikan Reproduksi Bagi Masa Depan Remaja", dan juara III R Mohammad Hanif, siswa SMU 3 Semarang dengan judul "Pendidikan Seksual Menuju Remaja Sehat".

Adapun juara harapan I sampai III adalah Muhammad Yunus (SMU Islam Al Ma'ruf), Mike Wira Pratiwi (SMU 1 Ambarawa), dan Laila Novitasari (MA Banat NU Kudus). Jumlah peserta lomba karya tulis pelajar se-Jateng itu 23 anak. Juri lomba terdiri atas tiga orang dari kalangan kampus dan jurnalis.

Kreatif

Mengapa Idris yang hanya menyabet juara II justru yang dipilih untuk tampil menjadi narasumber dalam seminar hari ini? Selisih total nilai yang dia kumpulkan (712) cuma tiga poin di bawah juara I (715).

Namun, ujar dosen Progdi Psikologi UMK Mochamad Widjanarko, bukan perkara selisih angka Idris dipercaya tampil mewakili pandangan remaja. "Pemilihan Idris, karena faktor keberaniannya untuk menyebarkan angket ke teman-temannya yang menjadi bahan kajian atau salah satu referensi dalam menulis," paparnya.

Bagi Idris, lomba karya tulis itu adalah kali kedua. Sebelumnya, dia ikut lomba serupa yang diadakan Dewan Kerja Cabang (Pramuka). Karya tulisnya yang menyabet juara I dan bertemakan "Pemberdayaan Pramuka dalam Masyarakat Sekolah" akan diajukan ke tingkat provinsi pada Agustus depan.

"Saya ikut lomba yang diadakan Progdi Psikologi UMK dengan bimbingan guru Pembina KIR Dra Istiqomah serta famili saya, Siti Maghfiroh," tuturnya kepada Suara Merdeka. Idris kini kelas III bahasa, anak pertama pasangan Abdul Jalil dan Ny Hariyanah dari Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kudus.

Untuk mulai menulis, Idris terlebih dulu menyebar angket kepada 470 siswa kelas 2 (waktu itu). Teman-temannya itu ditanyai pendapatnya tentang seputar pendidikan reproduksi remaja. Dari berbagai pendapat tersebut, kemudian dia menelaahnya.

"Hasilnya, menunjukkan bahwa pendidikan reproduksi menjadi kebutuhan remaja yang sangat tinggi. Pendidikan seks lebih cenderung menjadi kebutuhan remaja dalam perkembangan seksualitasnya yang masih labil," jelasnya.

Bagaimana pandangan sang juara I, Dewi Puryati Ningrum? Dia mengemukakan, tindakan tepat remaja akan mengantarkan remaja pada kesehatan reproduksi. Yaitu kondisi sehat fisik, sosial, moral, dan mental yang berkaitan dengan sistem, fungsi, proses, dan alat reproduksi.

Kesehatan reproduksi remaja, jelasnya, menjadi motivator yang mencerahkan masa depan mereka sehingga dapat ikut serta aktif dalam pembangunan. "Upaya yang seyogianya dilakukan untuk pemberian informasi yang tepat adalah ketakwaan, komunikasi, kegiatan positif, pendidikan seks di sekolah, penyuluhan, dan konsultasi pada pakar," paparnya.

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0307/26/dar24.htm

Remaja dan Reproduksi Selalu Menjadi Isu

Isu reproduksi remaja terus menjadi perhatian. Pemberian nformasi mengenai kesehatan reproduksi kepada mereka dirasa mendesak. Ini karena menurut survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 1997, kelahiran di kalangan remaja sekitar 11 persen.

"Survei itu juga mengungkap, remaja putri yang melakukan aborsi berkisar 30-40 persen," kata dr Asri Purwanti SpA MPd, dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU dr Kariadi, Fakultas Kedokteran Undip.

Hal itu terungkap dalam seminar remaja dengan tema "Apa Itu Kesehatan Reproduksi Remaja", yang diadakan Program Studi (Progdi) Psikologi Universtitas Muria Kudus (UMK) di kampus setempat, Sabtu lalu. Selain Asri, narasumber lainnya yakni peneliti di Yayasan Katalis Jakarta Muhammad Nasih, pengajar Progdi Psikologi UMK Mochamad Widjanarko, dan pelajar SMU Islam Al Ma'ruf Kudus Muhammad Abdul Idris.

Seminar dihadiri sekitar 120 orang, terdiri atas pelajar/mahasiswa, guru SLTA/pengajar perguruan tinggi, pejabat BKKBN serta Dinas P dan K.

Idris adalah juara II lomba karya tulis yang diselenggarakan Progdi Psikologi UMK. Dia mendapat tropi Rektor UMK, piagam, dan uang Rp 250 ribu. Sedang juara I, Dewi Puryanti Ningrum (siswa SMUN 1 Purworejo) memperoleh tropi Ketua Yayasan Pembina UMK, piagam, dan Rp 300 ribu, serta juara III R Mohammad Hanif (SMUN 3 Semarang) dapat tropi Ketua Progdi, piagam, dan Rp 200 ribu.

Senada dengan Asri, Widjanarko (Koko) juga memaparkan tidak sedikit remaja yang telah melakukan hubungan seks di luar nikah. Kenyataan tersebut, ungkapnya, sebagaimana penelitian yang dilakukan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Latihan Bisnis Humaniora Yogyarkarta.

Hasil penelitian lembaga itu menyatakan, 97,05 persen dari 1.660 reponden yang mahasiswi sudah tidak perawan atau telah melakukan hubungan seks pranikah.

"Mencermati hal ini, sudah saatnya memberikan informasi tentang pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja," jelasnya.

Sementara, Muhammad Nasih menyoroti kesehatan dan reproduksi remaja dari sisi agama. Dia antara lain mengingatkan, keimanan dan ketakwaan merupakan kunci utama remaja untuk menghindari terjerumus dalam seks bebas atau hubungan seks sebelum nikah.

Sumber : Harian Suara Merdeka

Senin, 28 Juli 2003

Jangan Paksa di Luar Batas!

Kebanyakan orang tua merasa bangga jika anaknya yang masih balita bisa menghafal nama-nama menteri atau presiden sedunia. Namun kebanyakan kemampuan anak dalam mengingat tersebut karena paksaan dari orang tuanya.

''Jika hal itu yang terjadi, cukup berbahaya bagi perkembangan jiwa anak,'' ujar Kepala Dinas P dan K Jateng Drs Soebagyo Brotosedjati MPd usai menghadiri acara sosialisasi pendidikan anak dini usia (PADU) di aula gedung P dan K Jateng, Kamis (19/6).

Kemampuan daya pikir dan daya tangkap anak ada tahapnya dan tidak boleh dipaksakan. Peran orang tua hanya memberikan bimbingan yang sejalan dengan kemampuan anak, sehingga jiwanya tidak merasa tertekan.

Kemampuan menghafal nama-nama dan memahami berbagai persoalan, memang bisa memacu anak lebih pandai. Tetapi metode yang dilakukan jangan sampai memaksa di luar batas kemampuan anak. ''Ini yang harus diperhatikan secara baik oleh orang tua.''

Dr Gutama, Direktur PADU Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas mengakui kesadaran orang tua dalam mendidik anak secara benar masih rendah. Mereka belum memberi pemahaman dengan pendekatan emosi, dan kurang melihat dari aspek jiwa dan perkembangan anak.

Masa usia dini, jelasnya, merupakan masa emas perkembangan. Makanya stimulasi pendidikan yang baik dan benar diperlukan guna memberikan rangsangan terhadap seluruh aspek perkembangan anak. ''Kami memang menyadari Diknas terlambat dalam menangkap perlunya pendidikan bagi anak usia dini.''

Ukuran kemampuan daya pikir anak separo diperoleh ketika usia 4 tahun.

Kemudian pada usia 8 tahun sudah mencapai 80 persen, sedangkan secara tuntas daya pikirnya berkembang pada usia 18 tahun. ''Karena itu kalau dalam usia 1-4 tahun tidak dididik secara baik, ketika sudah besar juga ada korelasinya''.

Hingga saat ini pendidikan bagi anak dini usia masih terbatas pada usia 4-6 tahun, melalui TK, kelompok bermain, taman penitipan anak. Sedangkan anak usia 0-3 tahun belum tersentuh sama sekali.

Berdasarkan data tahun 2000, di Jateng terdapat anak usia 0-6 tahun 3.634.847 anak dan baru dilayani 477.527 anak. ''Artinya baru 13 persen yang tertampung''.

Sementara itu Dr Asri Purwanti SpA MPd dari Ikatan Dokter Anak Indonesia Jateng, mengatakan ada tiga faktor yang perlu diperhatikan bagi pertumbuhan anak. Di antaranya faktor biologis, psikologis dan sosial. ''Ketiganya harus berjalan seimbang agar kemampuan anak juga cepat dan normal''.

Sumber : Harian Umum Suara Merdeka

Senin, 23 Juni 2003

Peran Orang Tua dalam Meningkatkan Kecerdasan Anak


Sering kali terjadi orang tua yang baru saja menerima selembar kartu ber-isi hasil pemeriksaan psikologis anaknya, mengerutkan dahi dan berta-nya `Apakah kecerdasan anak saya akan bertambah tinggi kalau usianya bertambah pula’ atau `Kapan sebaiknya saya bawa lagi anak ini untuk di tes kembali.’

Orang tua itu membawa anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun untuk diperiksa taraf kecerdasannya sebagai salah satu syarat untuk menjadi murid di sebuah sekolah dasar kelas 1. Di kartu hasil pemeriksaaan psikologis itu tercantum nilai kecerdasan anaknya (IQ= Intelligence Quotient) adalah 98 yang ber-arti potensi kecerdasan anak berada pada taraf `rata-rata’ menurut Skala Wechsler.

Dari pertanyaan dan nada suara orang tua itu, terkesan harapan agar anaknya kelak kalau bisa mempunyai taraf kecerdasan yang lebih tinggi daripada yang telah dimilikinya saat ini. Dapatkah harapan orang tua itu terwujud?

Sebenarnya yang diukur pada suatu tes intelegensi adalah potensi kecerdasan seseorang. Bila pada saat pengambilan tes, se-orang anak yang sedang menjalani tes itu berada pada keadaan `normal’ dan tidak ada `gangguan’ yang cukup berarti seperti dalam kondisi sakit atau berkali-kali mencari orang tuanya sambil terus menangis (sedang emo-sional)maka dapat diharapkan hasil tes intelegensi itu cukup optimal dan hasilnya berlaku untuk sepanjang hidupnya. Kecuali karena adanya gangguan-gangguan di atas taraf ke-cerdasan seseorang diperkirakan relatif sama.

Masa dalam kandungan sampai 5 tahun pertama dalam kehidupan seseorang adalah masa yang penting dan cukup menentukan untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak selanjutnya. Apa yang `di-tabur’ pada janin atau anak pada masa ini dipandang akan sangat berpengaruh dalam membangun kecerdasan fisik dan mentalnya. Pada masa ini sebaiknya orang tua melakukan `rekayasa’ yang perlu untuk mengoptimalkan kecerdasan anak.

CINTA KASIH

Apa yang paling dibutuhkan janin atau anak pada bulan-bulan atau tahun-tahun pertama dalam kehidupannya? Ia terutama membutuhkan cinta kasih. Seorang ibu hendaknya telah mengungkapkan cinta kasihnya kepada anaknya sejak dini yaitu ketika anaknya masih dalam kandungan bahkan sejak bulan-bulan pertama kehamilan, yaitu dengan melakukan komunikasi dengan si janin, misalnya: kok tidur melulu, bangun dong, atau `jangan keras-keras tendangannya ya’. Dengan cara ini, sang ibu secara aktif membangun komunikasi de-ngan si janin. Komunikasi itu juga dapat diba-ngun melalui sentuhan dengan cara menge- lus-elus perutnya seolah-olah mengelus si janin.

Beberapa hari setelah lahir, bayi melakukan reaksi emosional akibat kontak pertama-nya dengan dunia luar. Jantungnya berdetak lebih cepat apabila ia mendengar suara ibu-nya. Kedekatan dan keterikatan dengan sang ibu memberi banyak pengalaman sehingga nantinya terbentuklah rasa percaya diri pada seorang anak. Komunikasi dan sentuhan yang dilandasi cinta kasih hendaknya dapat dipertahankan terutama pada masa tahun-tahun pertama dalam kehidupan seseorang. Faktor cinta kasih ini menjadi sangat penting karena saat mencintai berarti kita menerima sese- orang apa adanya. Kondisi ini menimbulkan rasa aman sehingga membuat konsentrasi anak terfokus pada potensinya, bukan pada cap atau kekurangannya.

Lingkungan yang kondusif

Anggapan bahwa kecerdasan anak dapat `direkayasa’ dalam arti anak diberi kesempat-an mencapai potensi kecerdasannya yang optimal tampaknya sudah dapat diterima oleh banyak kalangan. Dari dua faktor yang paling menentukan tumbuh kembangnya anak yakni: faktor keturunan (herediter) dan faktor ling-kungan, maka `rekayasa’ dengan mengen- dalikan faktor lingkunganlah yang paling aman dan dapat diterima baik ditinjau dari segi etika, moral maupun agama.

Gizi dan Nutrisi

Penelitian telah membuktikan adanya korelasi positif antara kandungan kalori/ protein yang dikonsumsi ibu hamil dengan perkem-bangan motorik maupun mental anak yang dilahirkannya. Kalaupun demikian, bayi yang mendapat konsumsi kalori protein serta zat gizi lainnya yang cukup akan memiliki perkem-bangan motorik maupun mental yang lebih baik dibandingkan bayi yang kurang menda-patkannya. Tentunya untuk mendapat hasil yang optimal, orang tuanya sebaiknya menambah wawasan dengan membaca buku-buku yang membahasnya secara terperinci atau menanyakan langsung kepada ahlinya, dokter anak atau ahli gizi.

Stimulasi /Rangsangan

Otak manusia perlu dirangsang sebanyak mungkin dan dimulai sejak dini, yaitu sejak dalam kandungan. Kalau tidak ada rangsang-an, jaringan organ otak menjadi mengecil aki-bat menurunnya jaringan fungsi otak. Rangsangan dapat berupa tindakan mengajaknya berbicara, mendongeng atau memperdengarkan musik. Komunikasi hendak-nya mengalir dengan bahasa yang sederhana, sehari-hari, dimengerti dan `dimiliki’ anak. Dengan demikian diharapkan bayi atau anak mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan dunia luar, khususnya dalam hal berbahasa. Selanjutnya, bayi atau anak diharapkan dapat mengungkapkan berbagai macam pengalaman emosional yang diterimanya, misalnya ketika anak minum ASI, dicium dan disayang. Ia juga belajar cinta kasih yang ada kaitannya dengan kakaguman, kebanggaan, pemberian maaf dan persahabat-an. Rangsangan-rangsangan yang tepat diharapkan dapat `memunculkan’ potensi/bakat kemampuan anak, seperti antara lain: musik, matematika, melukis, menari dan lain sebagainya.

Sikap dan Pola Asuh Orang Tua

Kadang-kadang orang tua tidak sabar de-ngan sikap dan pola asuh yang diterapkan kepada anaknya. Dengan bertambahnya usia dan dengan semakin luasnya lingkungan sosial anak maka rasa ingin tahu anak diharapkan semakin tumbuh. Bukannya mendorong rasa ingin tahu alami anak serta mengembangkan keinginan belajarnya, orang tua malah melakukan kebalikannya. Rasa ingin tahu seorang anak akan sesuatu hal akan pupus apabila ia berkali-kali datang dan bertanya kepada orang tuanya serta mendapati bahwa orang tuanya tidak berminat untuk menjawabnya bahkan memperlihatkan kehadiran anak de-ngan pertanyaannya telah mengganggu `ke-asyikan’ sang ayah atau ibu, misalnya: ayah yang sedang membaca koran atau ibu sedang menonton televisi.

Selain sikap orang tua yang ambisius atau pola asuh yang otoriter dapat membuat anak frustasi dan ketakutan, contohnya: orang tua menunjukkan sikap tidak suka apabila anak-nya menunjukkan kemampuan bernyanyi di depan umum karena ayah berpendirian bahwa anaknya tidak boleh menjadi seorang pe-nyanyi atau artis apabila ia sudah menjadi dewasa kelak. Adalah sangat bijaksana apabila orang tua memperhatikan dan memberikan respon positif terhadap `bakat-bakat ` yang telah diperlihatkan anak. Dengan demikian orang tua bertindak sebagai fasilitator dan mengembangkan `bakat’ anak yang terlihat.

Ikan dan ASI Baik untuk Bayi


Makanan yang mengandung protein dan asam lemak tak jenuh ganda terbukti mampu memacu pertumbuhan otak kanan dan kiri secara seimbang. Asam Arakhidonat ( AA ) dan Asam Dokosaheksanoat ( DHA ) merupakan senyawa lemak yang saat ini sedang menjadi perhatian dari para ahli gizi.

Guru besar ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Undip, Prof dr Fathimah Muis MSc Sp GK menyebutkan bahwa AA-DHA banyak ditemukan pada sumber-sumber lemak nabati dan ikan. Selain kacang-kacangan dan ikan, air susu ibu ( ASI ) merupakan sumber AHA dan DHA yang seimbang.
Fathimah menyebutkan, sumber utama AA adalah minyak jagung ( 57%), kedelai (51%), kuning telur. Sedangkan DHA banyak ditemukan pada minyak hati ikan cod ( 9-12%), minyak ikan salmon ( 11%) dan ikan makarel.
” Studi pada wanita hamil di Kanada menunjukan bahwa asupan DHA dibawah angka kecukupan memicu gangguan kesehatan pada ibu dan janin, ” kata Fathimah dalam seminar ” peran AA-DHA serta musik dalam tumbuh kembang optimal dan strategi pencapaiannya” baru-baru ini, di Balai Kota.
Lebih lanjut Fathimah menjelaskan bahwa AA dan DHA merupakan komponen penting dalam susunan syaraf pusat. Senyawa lemak ini terakumulasi pada retina, masa kelabu otak, dan jaringan reproduksi. Senyawa lemak ini penting untuk pertumbuhan otak dan penglihatan anak. Asam lemak tak jenuh ganda ini juga dibutuhkan pada perkembangan janin dan bayi. ” Pasokan AA dan DHA sangat dibutuhkan terutama pada trimester terakhir, pasca kelahiran dan masa dini anak.”

Meski saat ini sejumlah merk makanan instan bayi menawarkan asupan AA dan DHA, pembicara lain, Dr Asri Purwanti SpA, MPd menganjurkan para ibu tetap memberikan ASI selama mungkin. Menurut Asri, tumbuh kembang otak kiri dan kanan anak harus seimbang. Asupan gizi, penting untuk pertumbuhan otak. Namun pendidikan secara afeksi dan emosi juga berpengaruh pada perkembangan anak.
” Anak harus diberi stimulan-stimulan seiring pertambahan usianya. Stimulasi agar anak memiliki rasa tanggung jawab, mampu membedakan baik dan buruk, harus dimulai sejak dini,” pesannya.
Stimulan untuk otak kiri dapat dilakukan dengan melatih bahasa, logika, matematika, membaca atau menulis. Sebaliknya, otak kanan berhubungan dengan imajinasi, emosi dan interpersonal.

Senada dengan para ahli gizi, Asri mengajurkan agar makanan sehari-hari harus bervariasi. Setiap hari kebutuhan asam lemak sekitar 340-400 mg/hari. Selain variasi lemak nabati dan hewani, Asri menganjurkan penggunaan minyak dengan asam lemak nabati dan hewani, Asri menganjurkan penggunaan minyak dengan asam lemak tak jenuh ganda. ” Agar terhindar dari jantung koroner,minyak kedelai, minyak kacang,dan jagung, lebih baik daripada minyak kelapa,” ujarnya.”Hindari makanan yang digoreng pada temperatur tinggi dan lama karena asam lemak dapat berubah bentuk dan merugikan tubuh.”

Kesulitan Belajar Anak


Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung.

Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.

Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.

1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah.

Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu:

1. Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)
2. Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)
3. Maladjustment / Penyimpangan perilaku
4. Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda

Perlu diketahui juga, awalnya banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan anak dan pendidikan anak sangat tergantung pada IQ (intelligence quotient). Namun memasuki dekade 90-an pendapat itu mulai berubah. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa keberhasilan anak sangat tergantung pada kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Jadi IQ bukanlah satu satunya yang mempengaruhi keberhasilan anak, masih ada emotional intelligence yang juga perlu diperhatikan.

Ini adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasaan, dan mengatur suasana hati.

Dari berbagai penjelasan diatas, tentu banyak sekali tugas kita sebagai orangtua dalam mendidik anak kita baik mulai dari masa kecil mereka maupun hingga besar nantinya. Semua adalah tanggung jawab yang mulia, sebagaimana anak adalah karunia dan titipan tuhan kepada kita. Maka dari itu kita lah yang harus merawat dan memperhatikan perkembangan mereka, dan akhirnya kita pula yang akan tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka. Marilah kita memulai belajar mengenali dan mendidik anak mulai dari sekarang

Deteksi Dini Autis


Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak dini dan kemudian dilakukan penanganan yang tepat dan intensif, kita dapat membantu anak autis untuk berkembang secara optimal.
Untuk dapat mengetahui gejala autisme sejak dini, telah dikembangkan suatu checklist yang dinamakan M-CHAT (Modified Checklist for Autism in Toddlers). Berikut adalah pertanyaan penting bagi orangtua:
1. Apakah anak anda tertarik pada anak-anak lain?
2. Apakah anak anda dapat menunjuk untuk memberitahu ketertarikannya pada sesuatu?
3. Apakah anak anda pernah membawa suatu benda untuk diperlihatkan pada orangtua?
4. Apakah anak anda dapat meniru tingkah laku anda?
5. Apakah anak anda berespon bila dipanggil namanya?
6. Bila anda menunjuk mainan dari jarak jauh, apakah anak anda akan melihat ke arah mainan tersebut?

Bila jawaban anda TIDAK pada 2 pertanyaan atau lebih, maka anda sebaiknya berkonsultasi dengan profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme.

Apa itu Autisme?


Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.
Penyebab autisme
adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.

Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.

Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.

Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.

Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.

Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).

Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).

Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1.


Sumber : www.autis.info

contact us