Pendidikan Humanis dari sang Nasionalis
PROF Drs Satmoko, salah seorang guru besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (FIP Unnes) memang telah wafat pada 23 Desember 2006. Dia adalah dosen biasa, dengan pemikiran sederhana, bahwa pendidikan merupakan proses yang membawakan nilai-nilai pencerahan.
Tetapi bagi saya, juga orang-orang yang pernah menjadi muridnya, Satmoko memiliki konsisten luar biasa sebagai bapak, guru, dan teman pengajar.
Kepergiannya sebagai salah satu dari tiga guru besar emiritus yang masih bersedia mengembangkan mata kuliah Ilmu Pendidikan di FIP Unnes sungguh merupakan kehilangan besar bagi komunitas Ilmu Pendidikan. Sebagai pelopor perkembangan Ilmu Pendidikan, ia mengutamakan pendidikan nilai, memiliki pandangan filosofi tegas tentang humanisme dan nasionalisme.
Pandangannya ini segaris dengan dua koleganya dari Universitas Negeri Yogyakarta, Prof Dr Noeng Muhajir dan Prof Dr Sodik Azis Kuntoro Med. Baginya, mendidik guru adalah membangun karakter bangsa Indonesia yang kokoh. Satmoko mengakui selama ini Indonesia belum pernah menemukan landasan filosofi yang relevan dengan jiwa bangsa Indonesia.
Dua dua bulan sebelum wafat, Satmoko berkesempatan menerima saya untuk diwawancarai dalam rangka membuat kerangka pemikiran filosofis tentang mazhab pendidikan di Indonesia. Berikut rangkuman pemikirannya, yang mudah-mudahan berguna bagi kita yang masih hidup di dunia.
Belum Terumuskan
Menurut Satmoko, bangsa Indonesia belum pernah merumuskan filsafat pendidikannya sendiri, karena banyak distorsi. Begitu Indonesia merdeka dan bebas dalam berpikir, kita justru belum mampu memanfaatkan kebebasan itu. Kita terbentur pada kebhinekaan. Secara historis, sebelum Belanda datang, sebenarnya Indonesia sudah memiliki ''sistem'' pendidikan sendiri, yaitu pada zaman Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram yang bersifat feodalistis.
Budaya feodal berwatak sentralis, sehingga menjadi panutan yang kuat. Para pemikir seperti Ronggowarsito yang futuristik sudah meramalkan bahwa zaman yang akan datang bakal terjadi pluralisme yang cenderung tidak beraturan. Nilai-nilai dasar budaya Indonesia yang plural belum sempat menjadi sistem yang dianut oleh semua pihak.
Sampai sekarang belum pernah ada suatu teori pendidikan yang didukung riset. Riset yang ada selalu mengacu Amerika. Di Indonesia, sifat pendidikan direduksi menjadi schooling (sekolah formal) -kesimpulan yang dinilai terlalu tergesa-gesa. Harusnya, secara embrional, pendidikan itu harus dilihat dalam kekuatan keluarga. Bagaimana orang tua dan masyarakat mendidik anak-anaknya (filsafat ing ngarsa asung tuladha).
Guru sekolah itu kedudukannya ada dalam proses persekolahan. Guru adalah fasilitator (ing madya mangun karsa), yang aktif mendorong anak dalam arah yang benar. Tetapi guru yang berkualifikasi tidak sempat mengenal siswanya, karena tanggung jawabnya cukup besar sementara gajinya kecil.
Satmoko melihat kejadian sebagai akar fenomenologi yang berkembang di Indonesia. Embrio pemikiran tentang sistem pendidikan nasional berasal dari Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai dasar budaya Indonesia. Taman Siswa bukan penonjolan budaya Jawa, tetapi perlawanan budaya lokal kepada pemerintah kolonialisme Belanda yang mendapat pembenaran dari berbagai suku lain.
Pada dasarnya mendidik adalah tanggung jawab yang mesti ditangani orang tua, bukan guru. Orang tua tak siap untuk mendidik, karena ia melahirkan anak tanpa ilmu pendidikan, tapi secara instinktif. Orientasi filosofi orang tua sederhana saja, yaitu berupaya menanamkan nilai-nilai kemandirian untuk anak, dan sekaligus memberi bekal untuk meneruskan hidupnya.
Kemudian orang tua menyadari bahwa dalam hidup, manusia tidak hanya mengejar kejerahan materi, tapi hendaknya juga menyiapkan diri di masa akhir dunia. Dengan demikian, yang dibekalkan pada anak hendaknya persiapan untuk hidup did unia dan akhirat. Beberapa orang lalu dapat saling membandingkan pengalaman masing-masing.
Praktik dengan Percontohan
Prof Satmoko menilai pengaruh Amerika besar sekali terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Depdiknas hanya mengambil filsafat tut wuri handayani. Para pendidik kita yang belajar di AS tidak mampu membendung masuknya liberalisasi dan individualisasi. Anak, dalam teori behavioralistik, diasumsikan merupakan potensi, naturalistik harus didukung dengan filsafat tut wuri handayani.
Padahal Ki Hajar Dewantara mengajarkan ketiga kesatuan (Tripusat) tak terpisahkan. Karena seorang anak juga butuh diberi contoh (tuladha), sedangkan guru sebagai fasilitator harus mampu memberi arah pendidikan nilai yang jelas. Sehingga guru Indonesia menjadi korban. Di satu pihak belum memiliki filosofi Indonesia, tetapi di tataran praksis mengalirlah praktik pendidikan dengan program pengajaran yang sangat liberal.
Pendekatan kompetensi diterapkan dalam pendidikan dan teknologi, serta disikapi sebagai panglima yang mengarahkan mutu pendidikan. Kita bisa menyaksikan ukuran-ukuran mutu hasil pendidikan yang dikaitkan dengan peningkatan knowledge. Ujian Negara (UN) menjadi patokan, padahal kita tidak menerima anak sebagai unsur teknologi, tetapi sebagai pribadi manusia.
Indonesia sebetulnya memiliki filsafat Pancasila sebagai landasan filosofi pendidikan. Pada masa lalu, Pancasila kehilangan spiritnya karena inkonsistensi sikap dari bangsa kita. Filsafat Pendidikan Pancasila mengajarkan banyak hal, mulai dari unsur religi, demokrasi, human relation, sampai keadilan. Tetapi masuknya liberalisme dan kapitalisme membuat kita menjadi sangat behavioristik. Anak didik dipaksa untuk kreatif, inovasi dan bebas, tetapi guru tidak bertanggung jawab pada pembentukan nilai-nilai anak. Liberalisme dan kapitalisme hanya melahirkan kemampuan memilih peluang, tetapi tidak menghasilkan sikap dan moral.
Bagi Satmoko, hidup merupakan patron. Selama hidupnya, dia memberi tuladha kepada istri dan 10 anaknya untuk hidup sederhana dan mengembangkan nilai-nilai hidup normatif berdasarkan ajaran agama. Kondisi ini tidaklah mudah, apalagi pada masa Orde Baru di mana tuntutan kemajuan materi sangat tinggi.
Dengan kesederhanaan, ia mengantar putera-puterinya menapaki kehidupan dengan pasrah dan tawakal. Baginya, mendidik anak dimulai dari keluarga (millieu), lingkungan kerja (ia pernah menjadi dekan FIP selama dua periode). Dan dalam keseharian, selalu diupayakan kaidah hidup dadi guru, ora guroni ananging naberi (menjadi guru jangan sekali-kali merasa lebih pinter, tetapi memberi contoh).
Meski puterinya menjadi menteri keuangan (Dr Sri Mulyani Indrawati-Red), yang memimpin masuknya lembaga donor internasional untuk meningkatkan mutu SDM, Satmoko tetap memiliki idealisme dalam membangun pendidikan di Indonesia. Baginya modal asing telah mencabut akar (uprot) kemampuan mandiri bangsa ini, mulai dari kemampuan petani, pedagang, pemodal, dan birokrat.
Sistem pendidikan harus dikembangkan dengan memberi kepercayaan kepada anak didik sepenuhnya. Untuk itu, guru harus memiliki idealisme dan panggilan hati (beruf) untuk mencintai anak didiknya. Sikap ini tidak dapat diperoleh dari bangku sekolah, tetapi perlu dilatih dalam kehidupan keseharian. Ya, lengkaplah sudah pemilikan Prof Satmoko sebagai guru, guru besar, dan pinandita yang dimiliki Unnes.
Kini Prof Satmoko telah tiada. Seorang yang biasa dan sederhana, tetapi memiliki magnitute kehidupan yang kuat, memiliki semangat idealisme yang besar bagi 10 anak, 25 cucu, dan ribuan murid yang ditinggalkannya.
Kami rela melepaskanmu, karena kami yakin bahwa Satmoko-Satmoko muda bakal lahir kembali, melalui anak, cucu, dan para muridnya.