Autis Karena Faktor Genetik?
Faktor genetik dicurigai memberi kontribusi terhadap munculnya autisme. Tim peneliti dari Amerika Serikat berusaha membuktikannya.
Baru-baru ini tim ahli genetika yang dipimpin oleh Aravinda Chakravarti dari Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Amerika Serikat, memulai penelitian terhadap keluarga yang memiliki anak-anak autis. Tak hanya hipotesanya yang menarik, pemanfaatan teknologi digital canggih untuk menganalisis DNA anggota-anggota keluarga dari penyandang autisme membuat semua pihak tak sabar menantikan hasilnya.
Tim peneliti yang meliputi para pakar dari Johns Hopkins University dan University of Chicago ini melibatkan 465 keluarga yang juga mencakup 979 individu penyandang autisme. Tim ini memperoleh dukungan dana 3 juta dolar AS dari National Institute of Mental Health.
Teknologi digital
Autisme adalah gangguan psikiatri yang ditandai adanya masalah komunikasi dan interaksi sosial, serta perilaku yang tidak normal. Misalnya, gerakan salah satu anggota tubuh yang berulang-ulang. Diperkirakan, satu dari 500 anak menderita gangguan autisme.
Selama ini, faktor lingkungan dituding sebagai biang keladi pemicu autisme. Tapi, sejak lama para ahli mencurigai adanya faktor genetik yang menjadi biang keladi. Nah, salah satu teori genetika yang cukup berkembang selama ini adalah terdapatnya copy beberapa gen dan kromosom ekstra yang berperan memicu munculnya autisme dalam sebuah keluarga.
Dengan bantuan sebuah alat teknologi canggih digital yang dikembangkan oleh Victor Velculescu , yang juga anggota tim, diharapkan dapat mengungkap rahasia genetik di balik autisme. Dengan alat tersebut, tim akan membandingkan DNA dari anggota-anggota keluarga yang sehat dan yang menyandang autisme.
Copy DNA yang hilang dan bertambah
Setiap manusia memiliki dua copy (duplikat yang identik) dari setiap gen. Tetapi kadang-kadang ada gen yang “dihapus”, dan ada pula gen yang “ditambahkan” secara alami. Selama ini, para peneliti telah memusatkan perhatian untuk menemukan perubahan kromosom dalam gejala autisme. “Sayangnya, belum ada temuan yang secara konsisten memandu kami ke sebuah titik terang,“ jelas Chakravarti.
Apabila tim ini berhasil menemukan copy gen ekstra pada para penyadang autisme, maka mereka akan memastikan, apakah penambahan copy gen merupakan faktor yang memberi kontribusi pada munculnya gangguan tersebut atau tidak.
“Saya hendak menggarisbawahi bahwa faktor lingkungan yang berpotensi memicu autisme jumlahnya tak terhingga ( infinite ). Jadi, tentu saja sulit mengidentifikasi faktor lingkungan yang mungkin berinteraksi dengan gen untuk memicu munculnya autisme,” jelas Chakravarti. Ini memang tantangan para peneliti, karena jika kita berbicara tentang genom (semua DNA yang terkandung dalam sebuah organisme atau sel) manusia yang begitu besar, maka sifatnya sangat terbatas.
Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor genetik yang bertanggung jawab atas cakupan gejala autisme yang cukup luas yang dikenal sebagai sebuah spektrum. Sebab, ada penyandang yang hanya menderita gangguan komunikasi tetapi ada juga yang ekstrem, ditandai dengan gerakan tubuh berulang-ulang. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat mengungkapkan penyakit-penyakit kompleks lainnya, terutama masalah di bidang psikiatri.
Andi Maerzyda A. D. Th.