Pernah Dicegat Fretilin, Tiga Kali Kena Malaria

Asri Purwanti, Kakak Menkeu yang Pernah Sengsara di Timor Leste
Tak semua dokter pernah bertugas di wilayah konflik. Seperti dr Asri Purwanti SpA (k) Mpd, yang 4 tahun bertugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Kakak kandung Menkeu Sri Mulyani ini merasakan tugas di sana rawan konflik yang mengancam jiwanya.

PENGALAMANNYA bertugas sebagai dokter di wilayah Timor Timur sudah terjadi 19 tahun silam. Namun, Asri Purwanti tak akan pernah melupakannya. Saat itu Timor Timur diwarnai konflik menegangkan.

Asri bertutur, dia mengabdikan ilmunya di wilayah yang kini sudah menjadi negara Timor Leste itu pada 1985-1989. Ia memboyong sang suami, Edy Susianto SE, serta anak sulungnya, Aditya Retno Fitri, yang kala itu berusia satu tahun. "Saya berangkat ke sana (Dili) bersama suami dan anak. Kebetulan, suami juga bertugas di Kota Dili," ujarnya kepada RADAR SEMARANG (Jawa Pos Group).

Di wilayah yang masih berkonflik itu Asri bertugas di Puskesmas Centro, Kota Dili. Setelah dua tahun di ibu kota Timor Timur, Asri diangkat menjadi kepala Dinas Kesehatan di Kabupaten Liquisa, 45 kilometer dari Kota Dili.

Praktik di wilayah terpencil, konsekuensinya Asri tinggal di rumah dinas yang jauh dari layak. Ia juga tak memiliki perabot rumah tangga yang memadai. "Rumah dinas yang saya tempati kosong melompong. Tapi, untungnya dari Kota Dili saya membawa kompor dan kasur busa," kenangnya.

Air bersih sulit didapat, juga minim sarana transportasi. Untuk kebutuhan air sehari-hari, dia menggunakan air sungai yang sebenarnya tak layak untuk dikonsumsi. "Jika hujan turun, air sungai menjadi hitam. Mau tidak mau, saya menampung air hujan dari genteng. Setelah diendapkan, baru dipakai untuk memasak dan mandi," ujarnya.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makanan, Asri kerap mengandalkan makanan kaleng yang dibawa dari kota asal. Sementara, lauknya tahu dan tempe serta sayur dia dapatkan seminggu sekali. Sebab, di Liquisa, pasar yang menjual bahan pokok hanya buka seminggu sekali.

"Jika makanan kaleng habis, saya mencari bahan yang bisa dimakan di dalam hutan. Tapi, untungnya ada tunjangan perang. Jadi ada lauk pauk dari tentara," tutur anak kedua dari sepuluh bersaudara, pasangan almarhum Prof Drs Satmoko dan almarhumah Prof dr Retno Sriningsih ini.

Bertugas di wilayah yang serba sulit bukan berarti gaji yang diterima Asri lebih besar, justru relatif kecil. Tak sepadan dengan tantangan yang dihadapi. Bahkan, selama enam bulan pertama bekerja, gajinya tidak keluar.

Padahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia butuh biaya besar. "Di sana (Timor Timur) apa-apa mahal. Karena hampir semua barang kebutuhan berasal dari luar Timor Timur. Standar ekonomi di sana sangat tinggi," kisahnya.

Baru pada bulan ketujuh gaji Asri sebagai kepala Dinas Kesehatan cair. Itupun jumlahnya hanya Rp 75 ribu per bulan. Meski begitu, Asri tetap menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Semangatnya untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Liquisa yang kala itu masih di bawah standar, juga tetap tinggi. Bahkan, dari 60 warga yang bekerja di kantornya, beberapa orang di antaranya buta huruf dan minim pengetahuan. "Jadi saya tidak hanya bekerja sebagai dokter. Tapi, ngajari mengetik, membuat masakan, meracik obat, bahkan sampai ngajari nyopir mobil juga," ceritanya sembari tersenyum.

Asri mengaku sejak awal memiliki idealisme tinggi sebagai seorang dokter. Begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Undip, dia bertekad mengabdi ke suatu tempat yang dipandang orang sulit, seperti medan perang. Tak heran, begitu dirinya mendapat tugas ke Timor Timur, tanpa pikir panjang langsung disanggupi. "Ya, sekalian ingin mengetes kemampuan saya," ucap ibu dari dr Aditya Retno Fitri, Andika Retno Ayuri, dan Arinta Retno Anggi ini.

Menurut dokter yang kini membuka praktik di Jl Cempedak Raya I No 11A Semarang ini, kesuksesan seorang dokter itu bukan hanya dinilai dari harta benda. Tapi, juga dari seberapa besar pengabdiannya di wilayah kritis. "Saat menghadapi situasi semacam itu, kita akan diuji seberapa besar kemampuan kita dalam berjuang memecahkan masalah" terangnya.

Selama bertugas di Timor Timur, dokter yang kini berpraktik di RSUP Kariadi dan RS Telogorejo, Semarang, mengaku pernah dihadang kelompok gerilya Fretilin. Beruntung, dia tak sampai diperlakukan yang membahayakan jiwa. "Kebetulan nama saya masuk daftar orang yang dilindungi. Saya dokter satu-satunya di Liquisa dan satu-satu dokter wanita," ujarnya.

Kakak kandung Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani ini mengaku pernah punya pengalaman menangani wabah penyakit malaria yang menyerang ribuan warga. Dia sampai harus masuk rumah sakit tiga kali, lantaran ikut terjangkit penyakit ini.

"Di sana, penderita malaria sudah stadium berat. Bahkan hampir 25 persen bayi yang baru lahir, begitu diperiksa, darahnya sudah mengandung kuman malaria," jelas dokter kelahiran Jogjakarta, 6 November 1955 ini.

Celakanya, persediaan obat-obatan sangat terbatas. Yang tersedia hanya obat puyer. "Pernah seribu puyer habis dalam sehari. Karena yang terjangkit juga ribuan. Sampai-sampai saya keliling daerah untuk membagikan puyer, " kenangnya.

Asri juga pernah punya pengalaman terperangkap selama seminggu, saat melakukan bina kesehatan di Pulau Afauru. Penyebabnya ombak laut yang besar, sehingga kapal penyeberangan tak berani beroperasi. "Saya baru bisa pulang setelah dijemput heli milik PMI," katanya.

Diakui, kondisi masyarakat Liquisa ketika itu masih terbelit kemiskinan serta minim pendidikan dan keterampilan. Karenanya setiap dana instruksi presiden (inpres) mengucur, tidak digunakan untuk membangun gedung pembelajaran.

Dana yang ada justru digunakan untuk membiayai lintas program. Semisal, panduan KB, pemberantasan buta huruf, peningkatan kesehatan masyarakat, serta pelatihan keterampilan. "Percuma buat bangun gedung, kalau akhirnya dijadikan kandang sapi," ucapnya.

"Saya juga ajarkan mereka keakraban terhadap masyarakat pendatang. Saya support mereka bahwa kita semua sama. Tidak ada perbedaan, baik orang Jawa maupun orang Timor Timur," tambahnya.


Jawa Pos
Minggu, 23 November 2008 ]


0 Responses

contact us